Iklan sponsor resmi:

Iklan bisnis dan panduan usaha:

silahkan masuk untuk melihat karakter jiwa bisnismu...!!

I'rob dan Tafsir QS. Al-Fatihah-5

I’rob ayat ke-5

IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASHTA'IIN

IYYAAKA : [1] dhamir (kata ganti) nasab munfasil (yang terpisah), mabni (tetap) dalam keadaan fathah, menempati tempat nasab berkedudukan maf’ul (objek) yang didahulukan.


[1] Para ulama ahli Nahwiyyah telah berbeda pendapat tentang penetapan dhamir ini. Diantaranya:

Ø kalimat “IYYAKA” adalah bentuk dhamir seluruhnya tanpa ada tambahan.

Ø hanya kalimat “AYYA / IYYA” yang menjadi dhamir, sedangkan yang sesudahnya adalah isim.

Ø hanya kalimat “AYYA / IYYA” yang menjadi dhamir, sedangkan yang sesudahnya adalah huruf yang menjelaskan pungsi dhamir itu sendiri.

Ø tiada lain, kalimat “AYYA / IYYA” itu adalah huruf, sedangkan yang sesudahnya adalah dhamir. (Ma’ani al-Qur’an, Al-faraa’ I:10. Rosful Mabani: 137 dan darul Mashun I: 55

NA'BUDU : fiil mudhare marfu’, tanda rofa-nya adalah dhammah yang nampak diakhirnya, karena kosong dari adat nasab dan adat jazm. Dan failnya (subjeknya) adalah dhamir yang tersembunyi, yaitu: “kami”. Maknanya: kami akan beribadah.

WA IYYAKA NASHTA'IIN: kedua kalmat ini sama I’rob-nya dengan dua kalimat di atas.

Tafsir ayat ke-5

Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

Na'budu diambil dari kata 'ibaadat, yaitu kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, Karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

Ibadah juga ialah: mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mengamalkan apa-apa yang diizinkan syara’ (agama).

Dalam ta’rif lain, ibadah ialah nama yang mencangkup segala bentuk yang dicintai serta di ridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatan yang nampak atau yang tersembunyi. (fathul Majid, hal: 14)

Perlu kiranya difahami, bahwa ibadah itu tergolong menjadi 2 macam:

1. Mahdhah (ritual). Dalam ibdah ini disyari’atkan adanya niat yang ikhlas dan kaifiyat yang telah dicontohkan oleh Nabi. Maka tidak boleh bagi hamba untuk mengurangi atau menambah suatu ibadah tanpa dasar perintah, seperti tidak bolehnya bagi hamba merubah kaifiyat ibadah mahdhah dengan apa yang telah dicontohkan Rasulallah Saw.

2. Ghair Mahdhah (sosial). Dalam ibadah ini hanya di tuntut adanya niat yang ikhlas, karena tatcaranya tidak ditentukan oleh Nabi.

Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah, yaitu mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Setelah Allah memeparkan tentang kekuasaan Allah, yaitu semua urusan akan dikembalikan pada Alloh dan hanya Allah-lah yang berkuasa, maka selanjutnya dalam ayat ini Alloh memerintahkan pada segenap manusia agar istiqomah dengan ketaatan pada-Nya berupa ibadah dan berdo’a hanya kepada-Nya.


Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 21)

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Qs. Al-mu’min: 60)

yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.

Dari ayat ini, maka akan terlihat jelas klasifikasi manusia, yaitu:

1. Golongan orang-orang yang takbbur, yaitu mereka yang hanya beribadah dan tidak pernah berdo’a.

2. Golongan orang-orang yang musyrik, yaitu mereka yang beribadah pada Alloh, namun berdo’a bukan hanya kepada Alloh. Seperti ke keramat, kuburan, dan lain sebagainya.

3. Golongan orang-orang yang kafir muthlaq, yaitu mereka yang enggan beribadah dan enggan berdo’a pada Allah Swt.

4. Golongan orang-orang yang munafiq, yaitu mereka yang tidak beribadah namun berd’a kepada Allah.

5. golongan orang yang mukmin, yaitu mereka yang hanya keapda Allahlah beribadah dan hanya kepada Allahlah berdo’a.

Jika memperhatikan gramatika untaian ayat tadi, maka sungguhpun mengandung makna yang dalam, mari kita perhatikan;

1. “Iyyaka” huruf “ya” dengan syiddah, artinya: “Hanya kepada-Mu”. Jika tanpa syiddah (Iyaka), maka artinya: “Cahaya matahari”.

2. mendahulukan ma’mul (objek) daripada ‘amil-nya (subjek), memberi pengertian Hasr (penghususan).

Tidak “Na’budu Iyyaka” melainkan “Iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mu kami beribadah), mengandung arti; tidak ada yang lain yang disembah kecuali Alloh. Jika “Na’budu iyyaka” (kami beribadah kepada-Mu), mengandung arti; beribadahnya bukan hanya kepada Alloh, melainkan kepada yang lain pula (selain Allah) ia beribadah.

3. pengulangan lafadz “Iyyaka”, memberi arti pentingnya antara beribadah dan do’a.

4. penggunaan “Na’budu” dalam bentuk jamak, bukan “A’budu”, memberi arti atau kesan untuk menanamkan rasa kebersamaan dan kepedulian sosial serta mendidik kita agar berjama’ah dalam beribadah kepada Allah.

5. peralihan dhamir ghaib ke dhamir mukhatab. Hal ini menuntut agar mengundang kehadiran Allah ketika melaksanakan ibadah.

6. mendahulukan kalimat “Na’budu” daripada “Nasta’in”, mengisyaratkan bahwa Nabudu itu adalah kewajiban asasi manusia, sedangkan Nasta’in adalah hak asasi manusia untuk mendapat pertolongan Allah.

dengan pengertian ini, maka manusia dituntut melaksanakan kewajiban terlebih dahulu, maka setelah terlaksananya kewajiban itu, barulah menuntut hak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar