Iklan sponsor resmi:

Iklan bisnis dan panduan usaha:

silahkan masuk untuk melihat karakter jiwa bisnismu...!!

I'rob & Tafsir QS. Al-Fatihah-7

shiraatalladziina an'amta 'alaihim ghairil maghduubi 'alaihim wala ad-dhaaliin

Shirratha : badal muthabiq dari kalimat “Ash-shirat” sebelumnya, keadaannya mansub, dan tanda nasabnya adalah fathah yang nampak jelas. Sedangkan ia adalah mudhap.

Alladziina : Isim mausul, mabni fathah, menempati tempat jar berkedudukan menjadi mudhaf ilaih.

An'amta : fiil madhi mabni sukun, karena bersambungnya dengan huruf “Ta fail”. Sedangkan huruf “Ta” adalah dhamir (kata ganti) yang bersambung dengan fiil (kata kerja) keadaannya tetap fathah menempati tempat rofa’ berkedudukan fail.

'Alaihim : “’Ala” adalah huruf jar mabni sukun, tidak ada i’rab baginya. Dan huruf “Ha” adalah dhamir (kata ganti) yang bersambung dengan fiil (kata kerja) keadaannya tetap kasrah menempati tempat majrur oleh “Ala”. Dan huruf “mim” adalah huruf yang menunjukan pada jama mudzakar.

Dan jumlah fi’liyyah menjadi silah mausul.

Sybhul jumlah dari jar-majrur menempati tempat nasab berkedudukan maf’ul bih.

Ghairi : badal dari kalimat “Alladzĩna” majrur. Badal nakirah dari kalimat yang ma’rifah, keadaannya majrur, dan tanda jarnya adalah kasrah yang nampak jelas diakhirnya.

Dan ia adalah mudhaf.

Al-Maghduub : mudhaf ilaihi majrur, tanda jarnya adalah kasrah yang nampak jelas.

'Alaihim : telah dijelaskan I’robnya pada kalimat “An’amta ‘alaihim”. Sybhul jumlah jar-majrur menempati tempat rofa’ berkedudukan naib fail dari kalimat “Maghdub”, sebab ia adalah isim maf’ul.

wa : huruf “Wau” adalah huruf athaf tetap fathah, tidak ada tempat I’rab baginya. “Laa” Shilah bermakna “zaidah”, sebagai penguat (menurut Ulama Basrah)

Sedangkan menurut Ulama Kuffah; adalah isim yang bermakna “ghairo” yaitu keadaannya ma’tuf.

Waladhaaliin : menurut pendapat ulama Basrah; ma’tuf kepada kalimat “Maghdhub” keadaannya majrur, dan tanda jar-nya adalah “ya”, sebagai peganti dari kasrah kerena jama’ mudzakar salim. Dan huruf “nun” adalah peganti dari tanwin ketika ada dalam keadaan mufrad.


آمين : isim fiil amr yang bermakna: “ijabahlah”. Keadaannya tetap sukun. Dan diberi harakat dengan fathah untuk mencocokan dengan huruf “ya” sebelumnya. Dan failnya adalah tersembunyi, takdirnya adalah dhamir “anta” (kamu).


Tafsir ayat ke-7

shiraatalladziina an'amta 'alaihim ghairil maghduubi 'alaihim wala ad-dhaaliin

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.


Ayat ini sebagai tafsir sekaligus bukti bahwa “jalan yang lurus” itu adalah Islam. Sebagaimana Allah menjelaskan kembali dari makna “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” dengan sabda-Nya:

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah yang Mengetahui. (Qs. An-Nisa: 69-70)


Mereka itulah orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.

Ayat ini menjadi penegas sebagai perintah kepada umat manusia agar mengikuti langkah-langkah mereka yang telah Alloh beri nikmat (Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh).


Dan janganlah sekali-kali mengikuti orang-orang yang telah Allah murkai dan mereka yang sesat.

Dari ‘Ady’ bin Hatim, ia berkata: aku bertanya keapda Nabi Saw. mengenai firman Allah : “selain jalan al-maghdub” maka Rasulallah Saw menjawab: mereka adalah kaum yahudi, dan “jalan adhalin”, Rasulullah Saw. menjawab: kaum nashrani, merekalah yang sesat. (Ibnu Katsir I:110)


Imam Al-Maraghi menjelaskan tentang pengertian Al-Maghdub dan Ad-Dhalin.

Al-Maghdubi ‘alaihim ialah orang yang telah menerima atau mendengar agama yang benar dan disyari’atkan Allah untuk hamba-hamba-Nya, tetapi mereka menolak dan mengasingkan diri tanpa mau melaihat sedikitpun. Mereka itu tidak mau menggunakan aqalnya didalam meneliti dalil-dalil yang ada. Tetapi mereka lebih menyukai taqlid (mengikut) warisan nenek moyang mereka. Mereka adalah orang-orang yang akan tertimpa kesusuahan, siksaan dan kehinaan dineraka jahannam, dan tempat kembalinya mereka adalah seburuk-buruk tempat.


Dhallin, berarti mereka yang tidak mengetahui kebenaran. Atau tidak mengetahui dengan cara yang benar. Mereka itulah orang-orang yang belum pernah kedatangan seorang Rasulpun. Atau sudah pernah kedatangan seorang Rasul, tetapi nilai-nili kebenaran yang dibawa para Rasul itu kurang begitu jelas. Sehingga mereka tersesat dengan kebutaan dan tidak mendapatkan hidayah didalam menggapai cita-cita mereka.


Intinya, mereka Al-Maghduh (Yahudi) mengetahui perkara benar, namun tidak mengamalkan, bahkan mengingkari kebenaran itu. Dan Ad-Dhalin (Nasrani) mereka banyak beramal dan melakukan ritual namun tidak berdasarkan perintah Allah sehingga mereka tersesat dengan keyakinannya yang salah.

Perlu diketahui. Bahwa ayat ini sungguhpun menjelaskan akan keadaan Islam masa kini. Yaitu sybhu al-yahud dan syibhu an-nashoro, maksudnya:

Pertama; Syibhu Al-Yahud

Yaitu umat Islam yang akan menyerupai tingkah laku dan karakter orang-orang yahudi. Dimana sebagian umat Islam akan mengetahui hukum-hukum Islam, mengenal Islam, namun enggan melaksanakan syari’at Islam, bahkan akan mengingkari hukum-hukum Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana kita perhatikan, bahwa banyaknya gerakan-gerakan yang mengatas namakan Islam, namun tidak menggunakan hukum Islam (Qur’an-Sunnah) seutuhnya. Seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), Inkar Sunnah dll.

Kedua; Syibhu An-Nashoro Yaitu umat Islam yang akan menyerupai tingkah laku dan karakter orang-oarng nashrani. Dimana sebagian umat Islam akan banyak melakukan peribadatan-peribadatan baik yang dipandang sunnah, wajib maupun nilai keutamaan, namun peribadatan itu sama sekali tidak ada perintahnya dari Allah dan Rasul-Nya, bahkan Rasulpun tidak mempraktikannya. Maka inilah yang di maksud dengan umat Islam akan menyerupai umat Nasrani.


Dalam kitab Al-I’tisham I:96, Syekh Ibrahim bin Al-Fadhl Al-Balkhi berkata: hilangnya Islam itu disebabkan empat perkara:

1. tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui

2. mengamalkan apa yang tidak diketahui ilmuny

3. tidak belajar tentang apa-apa yang mereka tidak ketahui

4. menghalang-halangi manusia untuk belajar

Mudah-mudahan kita semua terhindar dari sifat al-maghdub dan ad-dhalin. Aamien...


I'rob & Tafsir QS. Al-Fatihah-6


I’rob dan tafsir ayat ke-6

IHDINAA : Fiil Amr (Du’a) mabni atas hadzfu harfi ‘illah (huruf ‘illah yang dibuang) diakhirnya, yaitu huruf; “ya”. Buktinya adalah tanda kasrah. Dan fail (subjek)nya adalah dhamir yag tersembunyi, waib takdirnya adalah “anta (kamu)”. Dan dhamir “NAA “ (kami); adalah shamir (kata ganti) yang bersambung dengan fiil (pekerja), keadaannya tetap dalam sukun menempati tempat nasab berkedudukan menjadi maf’ul bih. (objek).

Maknanya: “tunjukilah kami oleh-Mu”

ASH-SHIRAATHO : maf’ul bih kedua yang mansub, tanda nasabnya adalah fathah yang nampak jelas.

Ada yang mengatakan; mansub binaz’il khofdhi. Takdirnya: “Tunjukilah kami oleh-Mu kepada jalan.”

AL-MUSTAQIIMA : sifat dari “Ash-Shirat” mansub. Tanda nasabnya adalah fathah yang nampak jelas di akhirnya.

Tafsir ayat ke-6

Tunjukilah kami pada jalan yang lurus


Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik. Sebagaimana Imam Al-Maraghi berkata: bahwa hidayah Allah kepada manusia terdapat bermacam-macam bentuk:

1. Hidayah dalam bentuk ilham. Hal ini dirasakan oleh anak kecil sejak ia dilahirkan. Seseorang anak akan merasa membutuhkan makanan dengan cara menangis sebagai pertanda.

2. Hidayah kepada panca indra. Macam hidayah ini sama-sama terdapat pada manusia dan hewan. Bahkan pada hewan lebih sempurna dibanding yang ada pada manusia. Sebab, ilham ilham dan panca indra ini akan lebih cepat tumbuh secara sempurna dalam waktu yang sangat singkat setelah kelahiran. Dan ini dirasakan manusia secara bertahap.

3. hidayah kepada akal. Hidayah ini lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan ilham dan panca indra. Secara naluriyah, manusia akan hidup bermasyarakat dengan yang lainnya, sedang ilham dan panca indranya tidak cukup untuk menjalankan hidup bermasyarakat. Karenanya manusia membutuhkan akal yang mampu mengoreksi segala kesalahan yang dilakukan oleh panca indra. Bukanlah orang yang melihat tongkat lurus di air akan terlihat bengkok di mata? Dan orang yang belum terbiasa merasakan sesuatu yang manis akan terasa pahit di lidahnya.

4. Hidayah berupa agama dan syari’at, hidayah ini merupakan kebutuhan mutlak bagi orang yang menganggap remeh akal pikirannya, mengikuti kemauan hawa nafsunya, menundukkan jiwa untuk menuruti kemauan syahwatnya. Ia lebih memilih jalan yang penuh dengan lumpur dosa dan berbagai kejahatan, barani berbuat dzhalim sekalipun terhadap kawannya sendiri, sehingga tercipta suasana saling menguasai dan bersaing secara tidak wajar antar sesama.


Dengan hidayah inilah manusia akan merasakan benar-benarnya menerima petunjuk. Jika akal pikirannya mampu mengalahkan kemauan hawa nafsunya, maka akan tampak di mata manusia batasan-batasan dan syari’at Allah. Kemudian ia akan berdiri di atas garis-garis batas tersebut, dan mengekang kemauannya dari batasan-batasan yang ada.


Rasulallah Saw. bersabda: “Allah Swt. telah memberikan perumpamaan dengan jalan yang lurus, dan dipinggir jalan itu terdapat dua tembok, pada dua tembok itu terdapat pintu-pintu yang terbuka, pada pintu-pintu itu terdapat tabir yang terurai. Pada (awal) pintu jalan itu terdapat seruan, dengan seruan: wahai manusia, masuklah kalian semuanya kedalam pintu ini dan janganlah kalian berpaling (belok). Dan (terdapat seruan pula) di atas jalan ketika manusia hendak membuka tabir yang menutupi pinti-pintu itu, dengan seruan: celaka kamu!! Janganlah kau buka (tabir yang menutup pintu-pintu itu), jika kau buka, maka kamu akan celaka. (ketahuilah) jalan itu adalah Islam, dua tembok itu adalah batasan-batasan Allah, dan pintu-pintu yang terbuka itu adalah Allah, dan pintu-pintu yang terbuka itu adalah apa-apa yang Allah haramkan. Dan yang menyeru (untuk masuk ke jalan yang lurus, itu adalah kitab Allah. Dan yang menyeru di atas jalan itu adalah Allah yang telah memberi nasihat pada setiap hati kaum muslimin” (Hr. Ahmad, Ibnu Katsir I:107)


Dalam ayat tadi sungguhpun jelas, bahwa yang dipinta itu adalah jalan yang lurus, sedangkan jalan yang lurus itu yaitu Islam. Allah Swt. berfirman:

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.

Dan inilah jalan Tuhanmu; (jalan) yang lurus. Sesungguhnya kami Telah menjelaskan ayat-ayat (kami) kepada orang-orang yang mengambil pelajaran.

Bagi mereka (disediakan) darussalam (syurga) pada sisi Tuhannya dan dialah pelindung mereka disebabkan amal-amal shaleh yang selalu mereka kerjakan. (Qs. Al-an’am: 125-127)

Kemudian Alloh memperjelas lagi dengan firmannya:

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam... (Qs. Ali Imran: 19)

Kemudian Allah memperjelas dan memberi penguat dari makna “shiratal mustaqim”, dengan firmannya:


Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), Karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalannya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa. (Qs. Al-An’am: 153)

Inilah yang disebut dengan kebenaran mutlak. Bahwa jalan yang lurus, jalan yang paling benar, jalan yang akan membawa keselamatan dan jalan yang diridhai Allah itu tiada lain adalah Islam.

Sungguhpun keliru bagi para pemikir liberal, yang mengaku dirinya sebagai umat Islam, namun memahami, meyakini dan menafsirkan ayat ini “Shiratal mustaqim” sebagai “mencari kebenaran dalam agama, ada kemungkinan jalan yang lurus itu pada agama Islam, ada kemungkinan jua pada agama kristen, ada kemungkinan jua pada agama yahudi dan sebagainya. Hakikatnya manusia masih mencari agama yang paling benar”. Inilah pemikiran yang harus di musnahkan, karna akan menhadi virus bagi umat manusia yang secara khususnya bagi kaum muslimin.


Allah Yang Maha Suci telah menjelaskan makna “siratal mustaqim” itu dengan menyebutkan hanya agama Islamlah yang paling benar. Selain Islam, agama apapun akan di tolak.

Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (Qs. Ali Imran: 85)


I'rob dan Tafsir QS. Al-Fatihah-5

I’rob ayat ke-5

IYYAKA NA'BUDU WA IYYAKA NASHTA'IIN

IYYAAKA : [1] dhamir (kata ganti) nasab munfasil (yang terpisah), mabni (tetap) dalam keadaan fathah, menempati tempat nasab berkedudukan maf’ul (objek) yang didahulukan.


[1] Para ulama ahli Nahwiyyah telah berbeda pendapat tentang penetapan dhamir ini. Diantaranya:

Ø kalimat “IYYAKA” adalah bentuk dhamir seluruhnya tanpa ada tambahan.

Ø hanya kalimat “AYYA / IYYA” yang menjadi dhamir, sedangkan yang sesudahnya adalah isim.

Ø hanya kalimat “AYYA / IYYA” yang menjadi dhamir, sedangkan yang sesudahnya adalah huruf yang menjelaskan pungsi dhamir itu sendiri.

Ø tiada lain, kalimat “AYYA / IYYA” itu adalah huruf, sedangkan yang sesudahnya adalah dhamir. (Ma’ani al-Qur’an, Al-faraa’ I:10. Rosful Mabani: 137 dan darul Mashun I: 55

NA'BUDU : fiil mudhare marfu’, tanda rofa-nya adalah dhammah yang nampak diakhirnya, karena kosong dari adat nasab dan adat jazm. Dan failnya (subjeknya) adalah dhamir yang tersembunyi, yaitu: “kami”. Maknanya: kami akan beribadah.

WA IYYAKA NASHTA'IIN: kedua kalmat ini sama I’rob-nya dengan dua kalimat di atas.

Tafsir ayat ke-5

Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

Na'budu diambil dari kata 'ibaadat, yaitu kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, Karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.

Ibadah juga ialah: mendekatkan diri kepada Allah dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta mengamalkan apa-apa yang diizinkan syara’ (agama).

Dalam ta’rif lain, ibadah ialah nama yang mencangkup segala bentuk yang dicintai serta di ridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatan yang nampak atau yang tersembunyi. (fathul Majid, hal: 14)

Perlu kiranya difahami, bahwa ibadah itu tergolong menjadi 2 macam:

1. Mahdhah (ritual). Dalam ibdah ini disyari’atkan adanya niat yang ikhlas dan kaifiyat yang telah dicontohkan oleh Nabi. Maka tidak boleh bagi hamba untuk mengurangi atau menambah suatu ibadah tanpa dasar perintah, seperti tidak bolehnya bagi hamba merubah kaifiyat ibadah mahdhah dengan apa yang telah dicontohkan Rasulallah Saw.

2. Ghair Mahdhah (sosial). Dalam ibadah ini hanya di tuntut adanya niat yang ikhlas, karena tatcaranya tidak ditentukan oleh Nabi.

Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah, yaitu mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.

Setelah Allah memeparkan tentang kekuasaan Allah, yaitu semua urusan akan dikembalikan pada Alloh dan hanya Allah-lah yang berkuasa, maka selanjutnya dalam ayat ini Alloh memerintahkan pada segenap manusia agar istiqomah dengan ketaatan pada-Nya berupa ibadah dan berdo’a hanya kepada-Nya.


Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 21)

Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina". (Qs. Al-mu’min: 60)

yang dimaksud dengan menyembah-Ku di sini ialah berdoa kepada-Ku.

Dari ayat ini, maka akan terlihat jelas klasifikasi manusia, yaitu:

1. Golongan orang-orang yang takbbur, yaitu mereka yang hanya beribadah dan tidak pernah berdo’a.

2. Golongan orang-orang yang musyrik, yaitu mereka yang beribadah pada Alloh, namun berdo’a bukan hanya kepada Alloh. Seperti ke keramat, kuburan, dan lain sebagainya.

3. Golongan orang-orang yang kafir muthlaq, yaitu mereka yang enggan beribadah dan enggan berdo’a pada Allah Swt.

4. Golongan orang-orang yang munafiq, yaitu mereka yang tidak beribadah namun berd’a kepada Allah.

5. golongan orang yang mukmin, yaitu mereka yang hanya keapda Allahlah beribadah dan hanya kepada Allahlah berdo’a.

Jika memperhatikan gramatika untaian ayat tadi, maka sungguhpun mengandung makna yang dalam, mari kita perhatikan;

1. “Iyyaka” huruf “ya” dengan syiddah, artinya: “Hanya kepada-Mu”. Jika tanpa syiddah (Iyaka), maka artinya: “Cahaya matahari”.

2. mendahulukan ma’mul (objek) daripada ‘amil-nya (subjek), memberi pengertian Hasr (penghususan).

Tidak “Na’budu Iyyaka” melainkan “Iyyaka na’budu” (hanya kepada-Mu kami beribadah), mengandung arti; tidak ada yang lain yang disembah kecuali Alloh. Jika “Na’budu iyyaka” (kami beribadah kepada-Mu), mengandung arti; beribadahnya bukan hanya kepada Alloh, melainkan kepada yang lain pula (selain Allah) ia beribadah.

3. pengulangan lafadz “Iyyaka”, memberi arti pentingnya antara beribadah dan do’a.

4. penggunaan “Na’budu” dalam bentuk jamak, bukan “A’budu”, memberi arti atau kesan untuk menanamkan rasa kebersamaan dan kepedulian sosial serta mendidik kita agar berjama’ah dalam beribadah kepada Allah.

5. peralihan dhamir ghaib ke dhamir mukhatab. Hal ini menuntut agar mengundang kehadiran Allah ketika melaksanakan ibadah.

6. mendahulukan kalimat “Na’budu” daripada “Nasta’in”, mengisyaratkan bahwa Nabudu itu adalah kewajiban asasi manusia, sedangkan Nasta’in adalah hak asasi manusia untuk mendapat pertolongan Allah.

dengan pengertian ini, maka manusia dituntut melaksanakan kewajiban terlebih dahulu, maka setelah terlaksananya kewajiban itu, barulah menuntut hak.