Iklan sponsor resmi:

Iklan bisnis dan panduan usaha:

silahkan masuk untuk melihat karakter jiwa bisnismu...!!

Ancaman Berdusta Atas Nama Rasulallah SAW


Ancaman Berdusta Atas Nama Rasulallah SAW

Oleh: Abdul Hakim bin Amir Abdat

Dalam masalah ke-2 ini, kami tunjukkan sejumlah hadits-hadits shahih, tentang ancaman yang sangat berat dan adzab yang sangat mengerikan kepada para pendusta dan pemalsu hadits atas Nabi SAW.

Hadits-hadist tersebut ialah :

........... "Man kadzaba a'laiya muta'ammidan palyatabawwa maq'adahu minannaar".

Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah SAW "Barang siapa yang berdusta atasku (yakni atas namaku) dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka".
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Imam Bukhari (1/36) dan Muslim (1/8) dll)

Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata. Telah bersabda Rasulullah SAW, "Barangsiapa yang membuat-buat perkataan atas (nama)ku yang (sama sekali) tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
(Hadits shahih dikeluarkan oleh Ibnu Majah (No. 34) dan Imam Ahmad bin Hambal (2/321))

Artinya : Dari Salamah bin Akwa, ia berkata. Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda : "Barangsiapa yang mengatakan atas (nama)ku apa-apa (perkataan) yang tidak pernah aku ucapkan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
(Hadits shahih riwayat Imam Bukhari (1/35) dll, hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad (4/47) dengan lafadz yang sama dengan hadits No. 1,4,5,6 & 8)

Kemudian Imam Ahmad meriwayatkan lagi (4/50) dengan lafadz.

Artinya : "Tidak seorangpun yang berkata atas (nama)ku dengan batil, atau (ia mengucapkan) apa saja (perkataan) yang tidak pernah aku ucapkan, melainkan tempat duduknya di neraka".
Sanad ini shahih atas syarat Bukhari dan Muslim.

Artinya : Dari Anas bin Malik, ia berkata. Sesungguhnya yang mencegahku menceritakan hadist yang banyak kepada kamu, (ialah) karena Rasulullah SAW telah bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta atasku (yakni atas namaku), maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
Hadits shahih dikeluarkan oleh Bukhari (1/35) dan Muslim (1/7) dll.

Artinya : Dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari bapaknya (Abdullah bin Zubair), ia berkata. Aku bertanya kepada Zubair bin 'Awwam : "Mengapakah aku tidak pernah mendengar engkau menceritakan (hadits) dari Rasulullah SAW sebagaimana aku mendengar Ibnu Mas'ud dan si fulan dan si fulan..? Jawabnya : Adapun aku tidak pernah berpisah dari Rasulullah sejak aku (masuk) Islam, akan tetapi aku telah mendengar dari beliau satu kalimat, beliau bersabda : "Barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka".
Hadits shahih, dikeluarkan Bukhari (1/35), Abu dawud (No. 3651) dan Ibnu Majah (No. 36 dan ini lafadznya) dll.

Dua riwayat di atas dari dua orang sahabat besar Anas bin Malik dan Zubair bin 'Awwam, menunjukkan betapa sangat hati-hatinya para sahabat radliyallahu 'anhum dalam meriwayatkan hadits Nabi SAW.

Artinya : Dari Abdullah bin Amr, ia berkata. Sesungguhnya Nabi SAW telah bersabda : "Sampaikanlah dariku meskipun satu ayat, dan ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan (yakni berdosa), dan barangsiapa yang berdusta atas (nama) ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya (yakni tempat tinggalnya) di neraka".
Hadits shahih, dikeluarkan oleh Bukhari (4/145) dan Tirmidzi (4/147 di Kitab Ilmu) dan Ahmad (2/159), 202 & 214) dll.

Sabda Nabi SAW. " Ceritakanlah tentang Bani Israil dan tidak ada keberatan", yakni tidak berdosa selama itu baik menurut Syara'.

Berkata Imam Malik. "Yang dikehendaki boleh menceritakan tentang mereka (Bani Israil) ialah dari urusan yang baik, adapun apa-apa yang telah diketahui dustanya tidak boleh". Demikian juga keterangan Imam Syafi'iy, hampir sama. (baca Al-Fathul Bari 7/309 syarah Bukhari).

Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Bahwa cerita-cerita tentang Bani Israil itu ada tiga macam :

Yang telah diketahui kebenaran dan kesahihannya oleh Syara' dari perkara-perkara yang baik. Maka inilah yang dimaksud dengan sabda Nabi SAW diatas.

Yang telah diketahui kebatilan dan kedustaannya oleh Syara'. Maka tidak boleh kita ceritakan, kecuali untuk menjelaskan kebatilan dan dustanya.

Yang tidak atau belum diketahui benar dan dustanya. Maka tidak boleh kita imani atau dustai, dan menceritakannya-pun tidak ada faedah sama sekali. (baca Tafsir Ibnu Katsir 1/4).

Artinya : Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata. telah bersabda Rasulullah SAW. "Janganlah kamu berdusta atas (nama)ku.! Karena, sesungguhnya barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia memasuki neraka".
Hadist shahih, riwayat Bukhari (1/35), Muslim (1/7), Tirmidzi (4/142 Kitabul Ilmi), Ibnu Majah (No. 3) dan Ahmad.

Artinya : Dari Mughirah (bin Syu'bah) radliyallahu 'anhu, ia berkata, Aku telah mendengar Nabi SAW bersabda : "Sesungguhnya berdusta atasku tidaklah sama berdusta kepada orang lain (selainku), maka barangsiapa yang berdusta atas (nama)ku dengan sengaja, hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka".
Hadist shahih riwayat Bukhari (2/81), Muslim (1/8) dan Ahmad (4/252).

Artinya : Dari Watsilah bin Asqa', ia berkata. telah bersabda Rasulullah SAW. "Sesungguhnya dari sebesar-besar dusta adalah, seorang menda'wahkan/mengaku (berbapak) kepada yang bukan bapaknya (yakni menasabkan diri kepada orang lain yang bukan bapaknya), atau (ia mengatakan) telah diperlihatkan kepada matanya apa yang (sebenarnya) matanya tidak pernah melihat (yakni ia mengaku telah bermimpi dan melihat sesuatu tetapi sebenarnya bohong).

Dalam riwayat yang lain di jelaskan, atau (ia mengatakan), telah diperlihatkan kepada kedua matanya dalam tidur mimpi) apa yang tidak dilihat oleh kedua matanya (yakni ia mengaku telah bermimpi sesuatu padahal dusta), atau ia mengatakan atas (nama) Rasulullah SAW apa yang beliau tidak pernah sabdakan".
Hadits shahih, riwayat Bukhari (4/157) dan Ahmad (4/106) dan riwayat yang kedua, dari jalannya.

Artinya : Dari Abi Bakar bin Salim dari bapaknya (yaitu Salim bin Abdullah bin Umar) dari kakeknya (yaitu Abdullah bin Umar), ia berkata. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda. "Sesungguhnya orang yang berdusta atas (nama)ku akan dibangunkan untuknya satu rumah di neraka". Hadist shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal di musnadnya (2/22, 103 & 144) dan sanadnya shahih atas syarat Bukahri dan Muslim.

TAKHRIJUL HADITS
Hadits "man kadzaba a'laiya" dan yang semakna dengannya tentang ancaman berdusta atas Rasullah SAW, derajadnya MUTAWATIR. Telah diriwayatkan oleh berpuluh-puluh sahabat, sehingga dikatakan sampai dua ratus orang sahabat meriwayatkannya. Dan tidak satupun hadits mutawatir yang derajadnya lebih tinggi dari hadits "man kadzaba a'laiya".
(baca : Syarah Muslim (1/68) An-Nawawi, Fathul Bari (1/213) Ibnu Hajar. Tuhfatul Ahwadziy syarah tirmidzi (7/418-420).

Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Bahwa banyaknya sahabat yang meriwayatkan hadits di atas memberikan beberapa faedah yang menunjukan :

Nabi SAW sering menyampaikan dan mengulang-ulang sabdanya tersebut.

Perhatian yang besar para sahabat dalam memelihara, dan menjaga betul-betul sabda Nabi SAW dan segala sesuatu yang disandarkan orang kepada beliau SAW. Sehingga mereka saling berpesan dan berwasiat dan meriwayatkannya sesama mereka. Kemudian mereka menyampaikannya kepada Tabi'in dan Tabi'in menyampaikannya kepada Atba'ut Tabi'in dan seterusnya tercatat dan terpelihara dengan baik dan rapi di dewan-dewan Imam-imam Sunnah. Sehingga sepanjang pemeriksaan saya -hampir-hampir- tidak ada satupun Imam dari Imam-imam ahli hadits melainkan meriwayatkannya di kitab-kitab hadits mereka. Dari Amirul Mu'minin fil hadits Al-Imam Bukhari sampai Imam Ibnul Jauzi radiiyallahu 'anhum wa jazaahumullahu 'anil Islam khairan.

Ketinggian derajadnya dalam kesahihan dan kemutawatirannya dan mencapai tingkat teratas dalam martabat hadits-hadits mutawatir.

Kebesaran maknanya yang meliputi beberapa faedah dan sejumlah qaidah dan menutup pintu kerusakan-kerusakan yang besar dalam Agama ini, disebabkan berdusta atas nama Nabi SAW.

LUGHOTUL HADITS
Sabda Nabi Saw : ....palyatabawaa... = hendaklah ia mengambil

Artinya : Maka hendaklah ia mengambil untuk dirinya satu tempat tinggal (yakni di neraka). Dikatakan : Seorang mengambil tempat, (yakni) apabila ia mengambilnya sebagai tempat tinggalnya (tempat menetap atau rumahnya). Maka sabda Nabi SAW. "Hendaklah ia mengambil tempat tinggalnya di neraka". bentuk perintah yang maknanya kabar, atau bermakna mengancam, atau maknanya mengejek dan marah, atau mendo'akan pelakunya yakni semoga Allah menempatkannya di neraka".
(Al-Fath 1/211 dan syarah Muslim 1/68).

Saya berpandangan : Bahwa tempat tinggal yang dimaksud telah dijelaskan di hadits nomor 10, yaitu Allah SWT telah disediakan untuknya satu rumah di neraka. Wallahu 'Alam.

SYARAH HADITS
Menurut Imam Nawawi (rahimahullahu) hadits ini meliputi beberapa faedah dan sejumlah qawaa'id, diantaranya :

Ketetapan tentang qa'idah dusta bagi Ahlus Sunnah. (akan datang penjelasannya).

Sangat besar pengharaman dusta atas nama beliau SAW, dan merupakan kekejian dan kebinasaan yang sangat besar.

Tidak ada perbedaan tentang haramnya berdusta atas nama Nabi SAW baik dalam masalah-masalah ahkam (hukum-hukum) atau bukan, seperti ; tarhib dan nasehat-nasehat dan lain-lain. Maka semuanya itu adalah haram dan sebesar besar dosa besar dan seburuk-buruk perbuatan menurut ijma' kaum muslimin.

Haram meriwayatkan hadits maudlu'/palsu atas orang yang telah mengetahui kemaudlu'annya atau berat sangkaan bahwa hadits tersebut maudlu'. Maka barangsiapa yang meriwayatkan satu hadits yang ia ketahui atau berat sangkaannya bahwa hadits itu palsu dan ia tidak menjelaskan kepalsuannya, maka ia termasuk kedalam ancaman hadist di atas dan tergolong orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW.

Diringkas dari syarah Muslim 1/69-71 dan baca juga Al-Fath 1/210-214 & 7/310.

I'rob & Tafsir QS. Al-Fatihah-7

shiraatalladziina an'amta 'alaihim ghairil maghduubi 'alaihim wala ad-dhaaliin

Shirratha : badal muthabiq dari kalimat “Ash-shirat” sebelumnya, keadaannya mansub, dan tanda nasabnya adalah fathah yang nampak jelas. Sedangkan ia adalah mudhap.

Alladziina : Isim mausul, mabni fathah, menempati tempat jar berkedudukan menjadi mudhaf ilaih.

An'amta : fiil madhi mabni sukun, karena bersambungnya dengan huruf “Ta fail”. Sedangkan huruf “Ta” adalah dhamir (kata ganti) yang bersambung dengan fiil (kata kerja) keadaannya tetap fathah menempati tempat rofa’ berkedudukan fail.

'Alaihim : “’Ala” adalah huruf jar mabni sukun, tidak ada i’rab baginya. Dan huruf “Ha” adalah dhamir (kata ganti) yang bersambung dengan fiil (kata kerja) keadaannya tetap kasrah menempati tempat majrur oleh “Ala”. Dan huruf “mim” adalah huruf yang menunjukan pada jama mudzakar.

Dan jumlah fi’liyyah menjadi silah mausul.

Sybhul jumlah dari jar-majrur menempati tempat nasab berkedudukan maf’ul bih.

Ghairi : badal dari kalimat “Alladzĩna” majrur. Badal nakirah dari kalimat yang ma’rifah, keadaannya majrur, dan tanda jarnya adalah kasrah yang nampak jelas diakhirnya.

Dan ia adalah mudhaf.

Al-Maghduub : mudhaf ilaihi majrur, tanda jarnya adalah kasrah yang nampak jelas.

'Alaihim : telah dijelaskan I’robnya pada kalimat “An’amta ‘alaihim”. Sybhul jumlah jar-majrur menempati tempat rofa’ berkedudukan naib fail dari kalimat “Maghdub”, sebab ia adalah isim maf’ul.

wa : huruf “Wau” adalah huruf athaf tetap fathah, tidak ada tempat I’rab baginya. “Laa” Shilah bermakna “zaidah”, sebagai penguat (menurut Ulama Basrah)

Sedangkan menurut Ulama Kuffah; adalah isim yang bermakna “ghairo” yaitu keadaannya ma’tuf.

Waladhaaliin : menurut pendapat ulama Basrah; ma’tuf kepada kalimat “Maghdhub” keadaannya majrur, dan tanda jar-nya adalah “ya”, sebagai peganti dari kasrah kerena jama’ mudzakar salim. Dan huruf “nun” adalah peganti dari tanwin ketika ada dalam keadaan mufrad.


آمين : isim fiil amr yang bermakna: “ijabahlah”. Keadaannya tetap sukun. Dan diberi harakat dengan fathah untuk mencocokan dengan huruf “ya” sebelumnya. Dan failnya adalah tersembunyi, takdirnya adalah dhamir “anta” (kamu).


Tafsir ayat ke-7

shiraatalladziina an'amta 'alaihim ghairil maghduubi 'alaihim wala ad-dhaaliin

(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.


Ayat ini sebagai tafsir sekaligus bukti bahwa “jalan yang lurus” itu adalah Islam. Sebagaimana Allah menjelaskan kembali dari makna “orang-orang yang telah Engkau beri nikmat” dengan sabda-Nya:

Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah yang Mengetahui. (Qs. An-Nisa: 69-70)


Mereka itulah orang-orang yang amat teguh kepercayaannya kepada kebenaran rasul, dan inilah orang-orang yang dianugerahi nikmat sebagaimana yang tersebut dalam surat Al Faatihah ayat 7.

Ayat ini menjadi penegas sebagai perintah kepada umat manusia agar mengikuti langkah-langkah mereka yang telah Alloh beri nikmat (Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh).


Dan janganlah sekali-kali mengikuti orang-orang yang telah Allah murkai dan mereka yang sesat.

Dari ‘Ady’ bin Hatim, ia berkata: aku bertanya keapda Nabi Saw. mengenai firman Allah : “selain jalan al-maghdub” maka Rasulallah Saw menjawab: mereka adalah kaum yahudi, dan “jalan adhalin”, Rasulullah Saw. menjawab: kaum nashrani, merekalah yang sesat. (Ibnu Katsir I:110)


Imam Al-Maraghi menjelaskan tentang pengertian Al-Maghdub dan Ad-Dhalin.

Al-Maghdubi ‘alaihim ialah orang yang telah menerima atau mendengar agama yang benar dan disyari’atkan Allah untuk hamba-hamba-Nya, tetapi mereka menolak dan mengasingkan diri tanpa mau melaihat sedikitpun. Mereka itu tidak mau menggunakan aqalnya didalam meneliti dalil-dalil yang ada. Tetapi mereka lebih menyukai taqlid (mengikut) warisan nenek moyang mereka. Mereka adalah orang-orang yang akan tertimpa kesusuahan, siksaan dan kehinaan dineraka jahannam, dan tempat kembalinya mereka adalah seburuk-buruk tempat.


Dhallin, berarti mereka yang tidak mengetahui kebenaran. Atau tidak mengetahui dengan cara yang benar. Mereka itulah orang-orang yang belum pernah kedatangan seorang Rasulpun. Atau sudah pernah kedatangan seorang Rasul, tetapi nilai-nili kebenaran yang dibawa para Rasul itu kurang begitu jelas. Sehingga mereka tersesat dengan kebutaan dan tidak mendapatkan hidayah didalam menggapai cita-cita mereka.


Intinya, mereka Al-Maghduh (Yahudi) mengetahui perkara benar, namun tidak mengamalkan, bahkan mengingkari kebenaran itu. Dan Ad-Dhalin (Nasrani) mereka banyak beramal dan melakukan ritual namun tidak berdasarkan perintah Allah sehingga mereka tersesat dengan keyakinannya yang salah.

Perlu diketahui. Bahwa ayat ini sungguhpun menjelaskan akan keadaan Islam masa kini. Yaitu sybhu al-yahud dan syibhu an-nashoro, maksudnya:

Pertama; Syibhu Al-Yahud

Yaitu umat Islam yang akan menyerupai tingkah laku dan karakter orang-orang yahudi. Dimana sebagian umat Islam akan mengetahui hukum-hukum Islam, mengenal Islam, namun enggan melaksanakan syari’at Islam, bahkan akan mengingkari hukum-hukum Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana kita perhatikan, bahwa banyaknya gerakan-gerakan yang mengatas namakan Islam, namun tidak menggunakan hukum Islam (Qur’an-Sunnah) seutuhnya. Seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), Inkar Sunnah dll.

Kedua; Syibhu An-Nashoro Yaitu umat Islam yang akan menyerupai tingkah laku dan karakter orang-oarng nashrani. Dimana sebagian umat Islam akan banyak melakukan peribadatan-peribadatan baik yang dipandang sunnah, wajib maupun nilai keutamaan, namun peribadatan itu sama sekali tidak ada perintahnya dari Allah dan Rasul-Nya, bahkan Rasulpun tidak mempraktikannya. Maka inilah yang di maksud dengan umat Islam akan menyerupai umat Nasrani.


Dalam kitab Al-I’tisham I:96, Syekh Ibrahim bin Al-Fadhl Al-Balkhi berkata: hilangnya Islam itu disebabkan empat perkara:

1. tidak mengamalkan apa yang mereka ketahui

2. mengamalkan apa yang tidak diketahui ilmuny

3. tidak belajar tentang apa-apa yang mereka tidak ketahui

4. menghalang-halangi manusia untuk belajar

Mudah-mudahan kita semua terhindar dari sifat al-maghdub dan ad-dhalin. Aamien...